Palesa (part 1)
Palesa
Esa mematut dirinya di depan
cermin tua berbingkai jati itu.
“Cantik ngga, Ma?”, tanyanya
sambil memutar tubuhnya.
Tubuhnya yang langsing bersalut gaun satin putih
dengan sedikit renda berwarna merah muda pucat di bagian pundaknya. Seuntai
kalung yang senada dengan anting-anting membingkai indah lehernya yang jenjang.
“Cantik sekali.”, aku menjawab
tersenyum sambil mendekati Palesa dari belakang. Kupegang kedua lengan anakku
dan menatap cermin di hadapanku. Mataku berkaca-kaca. Perasaan haru menyergap.
Anakku sekarang sudah dewasa. Dan Yosi tidak pernah berkesempatan melihatnya
tumbuh berkembang menjadi gadis cantik. Merekah bagai sekuntum bunga, sesuai
arti nama Palesa, yaitu bunga.
“Ih, Mama kok berkaca-kaca
begitu? Mama kenapa?”
Esa membalikkan badannya dan
menatapku. Mulutnya monyong. Tapi meskipun sedang monyong seperti itu, kecantikannya
tetap memancar.
“Mama cuma teringat Papamu, Esa.”,
jawabku pelan. Senyum di wajahku gagal menutupi segumpal kesedihan yang
menyerbu.
“Mama…”, Esa memelukku erat.
Begitu caranya menghiburku sejak dari kecil setiap kali Ia melihatku menangis.
“Jangan nangis lagi ya Ma. Papa
kan sudah tenang di atas sana.”
Aku tidak menjawab. Kuusap rambut
Esa yang sudah tersanggul rapi.
“Tuhan, biarkan Ia mengecap
kebahagiaan sebanyak mungkin, dan biarkan kesedihan menjadi bagianku.”, doaku
dalam hati.
Aku mengecup keningnya dan
melepas pelukanku. Kupandang anakku yang sekarang sudah dewasa. Malam ini Esa
akan berkencan untuk pertama kalinya.
Aku merasa sebagai Ibu yang sangat
beruntung. Di tengah adat timur yang tabu membicarakan perasaan, apalagi cinta,
antara orang tua dan anak, aku dan Esa bisa saling bercerita layaknya sahabat.
Esa sangat terbuka membicarakan kisah cintanya. Mulai dari kisah cinta monyet
saat Ia masih memakai rok biru, sampai kini Ia sudah menjadi mahasiswi.
Keterbukaan ini bukan timbul
tanpa usaha. Di saat orang tua lain berusaha menutupi perasaan dan peluh
perjuangan dengan senyum terpaksa, aku membiarkan diriku bagaikan buku terbuka
di hadapan Esa.
Saat suamiku, Yosi, meninggal
karena kecelakaan, Esa masih berumur lima tahun. Esa tumbuh bersamaku melihat
aku berjuang melawan kepedihan dan depresi ditinggal tumpuan hidup. Saat itu,
usiaku belum lagi genap tiga puluh tahun. Kecelakaan yang merenggut Yosi
memaksaku menjadi orang tua tunggal bagi Esa. Berjuang mencari nafkah, menjawab
telepon dari bank yang menanyakan kapan pembayaran cicilan rumah bisa dilunasi,
mengurus pendaftaran Esa masuk sekolah dasar, mengayuh sepeda bersama Esa ke
gereja. Semua itu kulewati dengan air mata dan kepasrahan. Setiap kali Esa
bertanya kenapa aku menangis, aku akan menjawab sejujurnya. Dan Esa kecil yang
belum mengerti apa-apa hanya bisa mengusap air mata dari pipiku sambil
mengucapkan kata-kata yang sama.
“Mama jangan menangis. Tuhan
pasti buka jalan.”
Terkadang memang dibutuhkan iman
seorang anak kecil untuk melihat setitik terang di kegelapan. Aku yakin Esa
hanya mengulang kalimat yang sering Ia dengar di Sekolah Minggu. Tapi bagiku,
itulah cara Tuhan berbicara padaku. Melalui Esa. Esa memiliki iman yang
melampaui logika. Terkadang, sekelumit ucapan darinya berbicara jauh lebih
nyaring dari kotbah dari mimbar gereja. Membangkitkan imanku dari keterpurukan.
Mungkin kepedihan itulah yang
merekatkan kami berdua. Terkadang kami menangis berdua. Kadang tertawa. Meregup
rasa, menggapai asa. Pernah di saat Ia beranjak remaja dan mulai mengenal apa
namanya cinta, Ia bertanya padaku.
“Ma, apa Mama pernah berpikir
menikah lagi?”
“Hm, apa ada yang mau sama Mama?
Janda beranak satu?”, jawabku terkekeh.
“Loh memang kenapa, Ma? Apakah
janda berarti lebih rendah martabatnya?”
“Yah, bukan begitu. Tapi…”, aku
terdiam.
Bagaimana menjelaskan kepadanya
bahwa ada perbedaan martabat seorang gadis dan seorang janda? Apalagi janda
miskin seperti aku.
“Suatu saat kamu akan mengerti,
Esa…”, ucapku membelai kepalanya.
“Mengerti apa?”
“Bahwa di dalam masyarakat ada
perbedaan martabat antara seorang janda dan seorang gadis. Janda seperti Ibumu
ini, jangankan mau mencari calon suami lagi. Berbicara berdua dengan pria saja
bisa menjadi omongan orang.”
“Peduli amat omongan orang! Toh
kita tidak minta makan sama mereka!”, Esa memberengut.
“Esa, kalau memang sudah jalan Tuhan
untuk Bunda menikah lagi, Dia pasti buka jalan.”, lanjutku menutup perbincangan
malam itu.
Berbincang dengan anak gadis yang
beranjak remaja memang tidak mudah. Pikiran mereka masih bebas dan idealis.
Semua mimpi bisa tergapai. Tapi rasanya cukup sudah aku bermain bersama mimpi.
Bagiku mimpi tiada lain sebuah asa yang hanya ada di buku fantasi. Hidup inilah
yang nyata. Bangun pagi, berbelanja sayur mayur, mengulek gado-gado di depan
rumah demi nafkah menyambung hidup. Inilah duniaku, kenyataanku.
Aku sebenarnya berasal dari
keluarga yang cukup berada. Papa adalah pedagang kelontong yang cukup berhasil
di kota Banyuwangi tempatku lahir. Sedangkan ibuku pandai membuat kue dan
pesanan selalu ramai di hari raya. Keluargaku cukup baik-baik. Kakak
laki-lakiku lulus kuliah jurusan kedokteran dan kemudian menikah dan menetap di
Jakarta. Aku menyusul kakak ke Jakarta saat masuk SMA. Selepas lulus kuliah
jurusan ekonomi, aku memutuskan untuk menikah dengan Yosi.
Keluargaku menolak pilihanku.
Yosi berasal dari keluarga yang tidak berada. Bukan hanya itu. Keluarga Yosi
juga berantakan. Mama Yosi adalah seorang penjudi, dan ayahnya seorang pemabuk.
Kalau sedang mabuk, Ia sering memukul istri dan anak-anaknya. Keluarga mereka
juga terkenal memiliki hutang di sana sini. Keluargaku sangat meyakini pepatah
kalau buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Yosi pasti akan menjadi penjudi,
pemabuk atau tukang hutang. Terlebih lagi, riwayat ayah Yosi yang kerap
melakukan penganiayaan, membuat Papa menentang keras pernikahan kami. Ia yakin
satu saat Yosi juga dapat menganiaya aku kalau ada pertengkaran dalam rumah
tangga kelak.
Memang tidak ada yang bisa
dibanggakan dari latar belakang Yosi. Dia juga bukan mahasiswa pintar. Dan
tidak ada yang mengenal Yosi seperti aku mengenalnya. Aku menetapkan hati
menikah dengan Yosi. Papa marah besar dan mengganggap aku anak durhaka. Ia
bilang aku bukan lagi anaknya. Berkali-kali Mama dan Kakak berusaha membujuk
Papa, tapi tanpa hasil. Alhasil aku tidak pernah lagi berbicara dengan Papa.
Mama dan Kakak masih sesekali berkomunikasi lewat whatsapp. Mereka sempat hadir di pernikahanku. Papa juga melarang
keluargaku untuk membantu biaya pernikahanku. Untuk biaya pernikahan, aku dan
Yosi harus menguras tabungan, bahkan meminjam sejumlah uang ke teman-teman
terdekat.
Karier Yosi baru saja meningkat
di saat Tuhan berkehendak untuk memanggilnya. Aku yang selama ini kuliah
ekonomi, tidak tahu bagaimana cara mengatur keuangan untuk masa depan. Selama
ini gaji Yosi cukup untuk membayar cicilan rumah kami. Bahkan Ia masih bisa
memberi sedikit uang kepada kedua orang tuanya setiap bulan. Tapi semua itu
berakhir saat Yosi meninggal. Aku harus berjuang sendiri. Kusadari bahwa ilmu
ekonomi yang kupelajari tidak pernah mengajarkan bagaimana cara mengatur
keuangan keluarga. Telepon dari bank yang menagih cicilan rumah datang
bertubi-tubi membuatku terpaksa menjual rumahku dan pindah ke sebuah kontrakan
kecil di dalam gang.
Di dalam gang itulah sekolahku
dimulai. Sekolah tentang mengatur keuangan. Sambil berjualan gado-gado, di
malam hari kusempatkan membaca buku-buku bekas yang kubeli di pasar Senen.
Kebanyakan buku yang kubaca adalah tentang mengatur keuangan. Menyadari Esa masih
butuh biaya pendidikan yang tidak sedikit, aku harus berpikir bagaimana mengatur
keuangan dengan cermat. Aku bertekad untuk tidak akan pernah minta bantuan dari
keluargaku. Semua tawaran dari Mama dan Kakak kutolak dengan halus.
Perjuangan dan pembelajaranku
bertahun-tahun mulai membuahkan hasil. Aku berhasil mencicil sebuah rumah kecil
di lingkungan yang lebih layak untuk Esa.
Aku mengelus pipi Esa dan
tersenyum sekali lagi. Seakan baru kemarin aku menggenggam jemari kecilnya
masuk ke sekolah TK. Sebentar lagi, mungkin beberapa tahun lagi, aku akan
menggenggam jemarinya untuk mengantarnya membangun bahtera rumah tangganya
sendiri. Meninggalkanku kembali sendiri menata hidup.
(bersambung)
-
Seruuuuu mana lanjutannyaaa Gieee? Ditungguuuu yah wkakakaka
ReplyDeleteSitus Judi Online, Judi Online Slot Games Online
ReplyDeleteSitus Judi Slot Online terpercaya Indonesia & Agen Judi online Terbaik. Judi Slot luckyclub.live Online, Joker123, Pragmatic Play. Provider Slot Online, Joker123, SBOBET, PlayOJO,