Yogyakarta, 25 Mei 2013

24 Mei 2013

Pukul 6 sore, saya dan seorang teman saya sudah tiba di Bandung. Kami menuju titik lokasi kumpul ('patung' kubus di depan pintu gerbang ITB) dan menaruh barang-barang kami. Kemudian kami menyusul rombongan yang sudah nge-tem duluan di Warung Pasta yang terletak tidak jauh dari sana.

Setelah celingak-celinguk, akhirnya kami bertemu dengan 3 org teman baru ini. Namun karena kami berencana mengisi perut dulu & meja yang ada cukup kecil untuk menampung 5 piring dan 5 gelas, maka kami duduk di meja sebelah untuk sementara. Selesai makan, barulah kami bergabung dengan mereka.

Saya selalu suka dengan kota Bandung. Cuaca yang sejuk dan suasana kota yang rileks selalu menjadi bagian dari memori yang indah selama 4 tahun saya tinggal di Bandung.

Jam 8 kurang kami kembali ke titik kumpul. Ada acara demonstrasi penyalaan dan pelepasan lampion, dimana lampion-nya sempat nyangkut di tiang listrik. Saya sempat deg-degan melihatnya. Bagaimana tidak, Saya membayangkan api yang menyala di dalam lampion itu bisa membakar kertas lampion dan lalu membakar kabel listrik itu. Untung penduduk setempat ada yang memiliki galah panjang untuk menyundul lampion itu sehingga lampion itu bisa terbang ke arah lain dan tak lama turun (katanya sih karena kualitas parafin yang dipakai memang yg kualitas kelas 2). Kami menyarankan agar segera menuju bis, karena hujan yang gerimis sudah mulai deras.

Pukul 8.30, setelah memberi toleransi 30 menit kepada peserta yang terlambat, dua bis berangkat dari Bandung. Satu bis besar berkapasitas 40 orang dan satu lagi bis kecil berkapasitas 30 orang yang dilengkapi wifi. Saya dan teman saya mendapat bis besar.

---

25 Mei 2013

Jam 6 pagi keesokan harinya, kami masih berada di lokasi yang jauh dari yang tertera di jadwal. Entah di mana. Tapi katanya masih beberapa jam lagi. Saya turun dan mengambil kesempatan menggosok gigi dan membeli roti. Beberapa peserta yang sudah keroncongan perutnya memilih untuk makan di tempat ini.

Jam 11.30 siang, akhirnya kami tiba di Wonosari dengan perut keroncongan, karena janji sarapan yang seharusnya pada pukul 6 tidak ditepati. Di lokasi ini, hanya ada 2 toilet untuk menampung 70 orang. Beberapa peserta yang sudah tidak tahan menahan gerah mengambil kesempatan utk mandi, dan ini memperpanjang antrian toilet.

Kelar makan siang pukul satu, kami diberitahu bahwa kami akan tetap dibawa menuju cave tubbing namun acara rafting akan dibatalkan karena keterbatasan waktu. Saat ini sudah ada beberapa peserta yang menyarankan agar cave tubbing dibatalkan dan sebaiknya segera menuju Borobudur, supaya tidak terjebak kemacetan. Saya sendiri meragukan apakah acara tersebut bisa kelar dalam waktu 1,5 jam mengingat kami berjumlah 70 orang.

Beberapa peserta yang beragama Buddha juga menekankan bahwa tujuan utama mereka mengikuti tur ini adalah karena mereka ingin mengikuti prosesi Waisak di Borobudur tersebut. Namun tur guide kami meyakinkan bahwa kami tidak akan terlambat tiba di Borobudur. Kang Ade (tur guide di bis besar) meyakinkan bahwa pukul 2 siang kami akan berangkat balik dari Wonosari dan paling lambat jam 5 kami sudah akan tiba di Borobudur (setelah memperhitungkan macet).

Menurut jadwal yang diberikan kepada kami sebelum berangkat, seharusnya saat ini kami sudah selesai cave tubbing dan rafting Oyo & sedang check-in hotel di Yogyakarta lalu bersiap-siap menuju Borobudur. Namun kenyataan-nya kami baru saja mau menuju lokasi cave tubbing yang terletak tak jauh dari tempat kami makan siang.

Pukul 1 lewat kami tiba di lokasi & berjalan menuju lokasi ganti baju. Setelah ganti baju, kami menunggu datangnya baju pelampung. Sebagian peserta sudah mendapatkan baju pelampung, namun masih ada beberapa peserta yang belum mendapatkan. Setelah 45 menit menunggu, pimpinan INA Tur ini yang bernama Rahmat memberitahukan bahwa aktivitas cave tubbing akan ditiadakan.

Terang saja kami kecewa. Kami merasa benar-benar seperti sekelompok orang bodoh yang memakai baju pelampung hanya untuk gaya di depan kamera. Tapi apa mau dikata, akhirnya kami memang cuma memakai baju pelampung tersebut untuk foto saja. Saya pribadi, setelah foto buru2 mengambil kesempatan untuk mandi ala koboi di toilet yang ada.

Yang penting gaya dulu...toh tak ada yang tahu kalo kami tidak jadi cave tubbing...

Pukul 2 siang, kami berangkat ke Borobudur. Sekali lagi kami harus duduk di dalam bis dan menonton DVD atau mendengarkan lagu. Bosan sekali rasanya. Dari pukul 8.30 malam kemaren sampai saat ini pukul 2 siang, kami belum melihat apapun dan kami belum melakukan aktivitas apapun. Selain itu kami juga dibiarkan kelaparan tanpa sarapan.

Pukul 5 saya melihat rasa-rasanya bus kami masih jauh dari Borobudur. Akhirnya pukul 7 malam bus kami memasuki parkiran Borobudur. Karena lokasi parkir yang diambil adalah yang di depan, yang nota bene jauh dari pintu masuk Borobudur, maka kami harus berjalan menembus gerimis untuk menuju Borobudur.

Saya bergumul dalam hati saya, apakah saya harus membawa payung atau tidak. Kalau kamera sih tidak kuatir, karena tas kamera hadiah ulang tahun ini sudah dilengkapi rain cover, jadi tidak perlu takut kebasahan. Akhirnya saya memilih hanya menggunakan wind-break jacket saya supaya lebih ringkas. Saya pikir, pasti repot mau foto kalau satu tangan harus memegang payung dan satu lagi memegang kamera. Apalagi kamera saya DSLR yang lumayan berat dan harus dipegang dengan 2 tangan, ujung-ujungnya saya harus menggunakan leher saya untuk menjepit payung. Bisa-bisa sakit leher setelah foto-foto, pikir saya.

Setelah kami tiba di pintu masuk Borobudur, ternyata ketiga tur guide kami saling kehilangan kontak satu sama lain. Saya sendiri mengikuti tur guide yang terlihat paling mengenal lokasi, makanya rombongan kami paling pertama tiba di lokasi. Tapi rombongan yang dipimpin Kang Rahmat dan Kang Ade sama sekali tidak terlihat. Saya melihat tur guide saya menelpon mereka & sibuk menunjukkan lokasi temu.

Hujan yang makin deras dan ditambah keletihan setelah duduk 22,5 jam membuat perut saya lapar. Warung-warung di sekitar loket pintu masuk menjual makanan seperti Rawon, Bakso, Pop Mie noodle cup instant, dsb. Karena takut ditinggal, Saya memilih Pop Mie, karena bisa saya makan sambil berdiri/berjalan. Namun ternyata kedua tur guide lain belum muncul juga. Setelah Kang Rahmat muncul, gantian tur guide saya yang menghilang.

Pada saat ini sebagian dari kami mengambil kesempatan untuk berfoto bersama di depan loket pintu masuk. Yang berjualan lampion juga segera membuka lapaknya. Saya mendengar keluhan beberapa peserta asing (bule - red) mengenai tur ini. Wanita Perancis itu berkata "I want to see something! A temple, a palace, something! Not just sitting in the bus!"


Sekelompok peserta yang berusaha tetap fun menunggu masuk ke Borobudur

Setelah menunggu kurang lebih 30 menit, grup kami diperbolehkan memasuki kawasan Borobudur, sementara hujan mengguyur makin deras kawasan Borobudur. Kami berjalan cukup jauh. Saya terpencar dari beberapa teman dan akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan 2 teman lain & tidak mau berpisah dengan mereka. Takut tidak bertemu lagi di tengah ribuan pengunjung Borobudur.

Kedua teman saya ini cukup pintar mengambil celah, sehingga kami mendapat posisi di barisan ketiga dari depan. Di barisan terdepan dibatasi oleh barisan badan yang dibentuk oleh para relawan yang memakai kaos putih bertuliskan WALUBI di belakangnya. Relawan-relawan ini bergandengan tangan membentuk "pagar hidup" di sekeliling panggung dimana para biksu sedang sembahyang dan menggumamkan doa-doa mereka.

Di antara celah-celah payung dan rintik-rintik hujan yang deras, saya melihat puncak stupa terbesar Borobudur yang bermandikan cahaya biru dari lampu sorot. Di belakangnya, kabut tipis bergerak perlahan sebagai background. Pemandangan ini ditambah suara chanting (doa - Red) para biksu menambah kesan mistis suasana malam itu.

Kemegahan Borobudur dengan kabut yang memberi kesan mistis

Beberapa menit sekali, beberapa relawan akan membuka barisan tepat di sebelah kiri sebagai jalan keluar para biksu yang sudah kelar beribadah.

Sebelum saya berangkat tur ini, saya sudah membaca larangan untuk menggunakan lampu flash sewaktu mengambil gambar. Saya menghormati dan menaati aturan ini. Saya tidak tahu kalau ada beberapa fotografer yang semena-mena mengambil foto sehingga menjadi kecaman publik.

Saya melirik ke sebelah kiri saya. Ada seorang umat yang sedang khusuk berdoa sambil memegang payung di tengah himpitan orang-orang. Kasihan saya melihatnya. Para umat Buddha ini datang untuk beribadah, tapi ibadah mereka harus terganggu oleh pengunjung yang datang semata-mata untuk acara pelepasan lampion.

Belum lagi, sewaktu berjalan menuju panggung, Saya sempat melihat ada kepulan asap rokok dari balik payung dimana orang tersebut sedang duduk beristirahat. Saya lumayan kesal melihatnya. Tidak tahu diri, pikir saya. Kalau memang mau merokok, merokoklah di luar, jangan di sini. Di sini kan tempat ibadah? Sengaja saya melongok untuk melihat wajah orang tolol ini. Entah dia merasa atau tidak dengan tatapan saya.

Pukul sepuluh kurang, upacara doa masih belum selesai. Jadi saya dan kedua teman memutuskan untuk keluar dari himpitan ini dan menunggu di belakang. Kami berpikir, rasanya tidak mungkin ada acara pelepasan lampion di tengah hujan deras seperti ini.

Di bagian belakang, barulah saya bisa mendapat kesempatan mengambil gambar Borobudur secara keseluruhan. Foto yang didapat tentu saja jauh dari harapan saya. Tapi kondisi cuaca memang selalu tidak bisa diperkirakan. Jadi saya harus berpuas diri kalau sudah bisa mengambil beberapa gambar dan merasakan sesaat suasana perayaan Waisak di Borobudur.

Kami menunggu di pelataran bagian belakang. Saya bisa melihat tumpukan sampah di sana sini. Keadaannya persis seperti lokasi layar tancap, bukan lokasi ibadah. Sedih melihat kondisi yang seperti itu. Miris melihat masyarakat Indonesia yang masih rendah pendidikan dan tidak tahu artinya toleransi antar umat beragama. Ternyata berpindah ke belakang ada gunanya. Saya justru bisa mengambil foto Borobudur secara keseluruhan.

Indahnya Borobudur meskipun ditengah hujan deras

Pukul sepuluh, kami mendengar pengumuman lewat loud speaker bahwa acara pelepasan lampion ditiadakan. Saat itu posisi kami sudah di samping pintu pagar. Kami mendengar teriakan "Huuuuuu..." yang serontak dari pengunjung seraya mereka meninggalkan lokasi.

Dalam hati saya berpikir, "Beginikah tingkah laku orang Indonesia? Mereka pikir ini acara konser? Jadi setelah pengumuman pembatalan, mereka seenaknya berteriak-teriak?".

Belum lagi sampah-sampah botol plastik dan makanan sepanjang perjalanan menuju pintu keluar menambah kekecewaan saya malam itu.

Akhirnya kami tiba di bus. Beberapa dari kami segera berganti baju. Keputusan saya untuk memakai wind-break bukan keputusan yang tepat. Saya basah kuyup. Kalau tidak berganti baju, saya pasti sakit. Jadi saya ganti baju dan beristirahat sambil menunggu semua peserta berkumpul.

Pukul 11.30 bus kami meninggalkan lapangan parkir Borobudur. Kami capek, lapar dan sebagian dari kami kebasahan. Salah seorang peserta memprotes suara DVD yang diputar terlalu kencang, jadi akhirnya film dihentikan, lampu dimatikan dan kami semua tertidur kelelahan.

Pukul 2 pagi, kami tiba di Yogyakarta. Menambah kekecewaan kami, kami harus menggotong bawaan kami, karena katanya lokasi hotel kami tidak bisa dimasuki bis. Tapi sewaktu kami berjalan masuk jalan itu, kami jelas-jelas melihat bis dengan ukuran yang sama terparkir di depan salah satu hotel.

Setelah lama, akhirnya kami tiba juga di hotel yang tua itu. Kang Ade sempat mau menjelaskan sesuatu, sebelum dipotong oleh salah seorang peserta pria yang sudah kehilangan kesabaran "Sudah, tidak usah banyak bicara! Langsung tunjukkan kamar kami di mana dan siapa saja yang ada di kamar itu"

Kenyataan yang mengejutkan lagi, ternyata kamar saya no 10 sudah ditempati oleh pengunjung lain. Begitu pula kamar no 11. Kebetulan kamar no 12 kosong, jadi teman saya langsung masuk ke sana & saya bergabung dengan 2 teman saya.

Kami berganti baju, cuci muka dan sikat gigi. Kami sempat melihat keluar, kelompok para bule dan beberapa teman lain belum mendapat kamar. Kami sudah terlalu lelah untuk berbuat apa-apa. Saya sempat melirik jam sebelum rebah ke pembaringan. Pukul 2.22 pagi. Mungkin pihak hotel menyewakan kamar tersebut ke tamu lain karena dikira rombongan kami tidak akan tiba. Atau mungkin juga Kang Rahmat tidak pernah membayar DP sebagai tanda jadi.

Kamar yang diberikan kepada kami adalah kamar tua yang kumuh. Toiletnya tidak bertutup. Bathtub-nya adalah bathtub buatan yang masih memakai keramik 10x10cm (note: saat ini, keramik tersebut sudah tidak diproduksi lagi, alias langka). Kami cuma diberikan 1 kipas angin. Tidak ada lemari baju. Ranjang saya adalah sebuah ranjang lipat besi yang per-nya sudah reyot. Sehingga waktu tiduran, posisi tubuh saya tidak bisa lurus, tapi agak melengkung. Tapi karena saya sudah terlalu lelah, apapun jadi.

Akhirnya kami tertidur kelelahan. Kekecewaan kami sudah sampai di batasnya. Sarapan ditiadakan dan langsung makan siang. Aktivitas2 yang dijanjikan cuma palsu belaka. Kunjungan ke Borobudur ngaret dan beberapa peserta kehilangan kesempatan melihat prosesi dan juga foto2 di saat cuaca masih cerah. Acara tunggu menunggu di depan loket Borobudur dalam kondisi lelah dan kelaparan. Kami tiba di lokasi hotel dini hari sambil berjalan menenteng tas menuju lokasi, untuk menemukan bahwa kamar kami sudah terisi. Rasanya TIDAK ADA yang beres yang dilakukan oleh tur ini.

Kami menanti, apakah esok hari akan ada perbaikan pelayanan dari tur ini?

Comments

  1. serius itu ga jd caving?hehehe..mendingan bikin trip sendiri lbh asik dan jadwal kita sendiri yg nentuin deh.

    iya kasihan ya umat budha gak tenang beribadahnya,coba klo kita sendiri lg beribadah diganggu. Semoga tahun dpn mereka bisa lbh khusu.

    salam gembel :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo gembel,

      Ya beneran, kita ga jadi cave tubbing.

      Yup, berharap semoga tahun depan umat Buddha bisa menikmati perayaan Waisak dengan tenang.

      Salam gembel juga. Makasih dah mampir ke blog saya.

      Delete
  2. duh kok sedih banget sih. . . tapi lucu :))

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hi Fitri,

      Makasih udah mampir. Iya, sedih banget emang. Kesel banget sebenarnya, tapi yah apa mau dikata. Kita cuma bisa menikmati apa yang ada saja jadinya.

      Salam kenal.

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Perbandingan harga filter air rumahan di 3 toko LTC

Palesa (part 1)