Solo, 28 Mei 2013

Hari ini saya berencana naik kereta lokomotif tua (kereta wisata). Kata teman sih namanya Jaladara dan naiknya dari stasiun Purwosari. Jadi saya jalan ke stasiun itu. Kebetulan saya memang mau melihat-lihat sekitar situ, jadi saya sengaja jalan kaki. Ternyata hotel saya dekat dengan Kampung Batik Laweyan, hal ini baru saya ketahui dari peta yang terpampang di papan di dekat jalan raya. Ada dua peta yang saya temui. Yang satu masih bagus dan warnanya masih jelas, yang satu lagi sudah pudar warnanya.

Di depan situ juga terlihat ada pertanda area Kampung Laweyan yang berupa dua monumen kecil. Alasnya berbentuk prisma berwarna hitam. Monumen ini jg sekalian berfungsi sebagai lampu jalan.

Salah satu peta yang masih bagus

Dua monumen kecil sebagai gate Kampung Laweyan


Sewaktu mau menyeberang, saya menemui tombol penyebrangan untuk para pejalan kaki. Tombolnya masih berfungsi. Saya rasa di Jakarta tombol seperti ini sudah tidak ada lagi yang berfungsi.

Lampu penyeberangan jalan

Sesampainya di stasiun Purwosari, ternyata stasiun ini masih mempertahankan gaya arsitektur jaman dulu. Lantainya masih menggunakan tegel coklat yang kecil dan pada bagian gedung loket terasa sedikit pengaruh arsitektur kolonial.

Stasiun kereta api Purwosari 

Setelah bertanya di loket, ternyata petugas memberitahu kalau untuk menaiki kereta ini harus menghubungi Dinas Perhubungan, dan harus menyewa satu gerbong sekaligus. Jadi akhirnya saya memutuskan untuk langsung ke Keraton. Saya sengaja memilih naik Batik Trans Solo (busway-nya Solo).

Yg menarik, mesin tap kartu ada di bagian dalam bis dan juga tersedia koran di dalam bis. Tapi setelah petugasnya masuk, ternyata masih ada kondektur yang menagih ongkos seperti sistem jaman dulu. Kondekturnya wanita. Entah bagaimana dengan sistem pembelian koran, mungkin harus bayar langsung ke kondekturnya juga.

Dengan Rp 2,000,- saya tiba di bagian depan gerbang Keraton. Saya harus berjalan sedikit dan harus naik becak lagi. Sementara saya berjalan di jalan setapak yang disediakan khusus untuk pedestrian dan pengendara sepeda, saya melihat pemandangan sekumpulan siswi SD yang naik sepeda. Pemandangan yang sudah jarang saya lihat di Jakarta. Adanya badan jalan khusus bagi becak/sepeda/pedestrian yang dibatasi dengan pepohonan rindang membuat berjalan kaki menjadi aktivitas yang menyenangkan di Solo. Ditambah lagi udara yang relatif lebih bebas polusi (bebas asap kendaraan bermotor) merupakan nilai plus.

 Koran dapat dibeli di dalam bis

Mesin tap kartu di dalam bis

Siswi SD bersepeda ke sekolah

Di depan saya lihat ada patung Slamet Riyadi yang sedang mengacungkan pistol. Di bagian belakangnya adalah Galabo yang kemaren malam saya kunjungi. Sementara untuk menuju Keraton, saya harus belok ke kanan.

Dari gerbang Keraton, saya naik becak ke Keraton. Di daerah sana banyak becak berjejer menanti pelanggan di bawah rindangnya pohon beringin (rasanya sih Pohon Beringin, kalau saya tidak salah tebak. Maklum, bukan botanis).

Seperti ini loh Galabo di waktu siang

Gerbang menuju Keraton Surakarta

Sesampainya di bagian loket, si abang becak menunjukkan lokasi loket, sambil menawarkan untuk mengantarkan ke bagian Museum dengan biaya tambahan Rp 5,000,- lagi. Saya menolak dengan alasan bahwa saya mau foto-foto dulu. Saya sempat berpikir, jangan-jangan saya dikerjain sama si abang becak.

Di dekat loket, terdapat gerbang utama yang tidak bisa dilewati oleh pengunjung biasa. Berdiri dua penjaga dengan seragam mereka yang khas. Atasan biru tua bergaya barat dengan kancing-kancing emas dan sarung batik. Mereka memakai sejenis peci, tapi lebih tinggi dari ukuran peci biasa, hampir seperti kerucut yang terpotong bagian atasanya.

Penjaga tiket memberi tahu bahwa saya harus berjalan ke kanan. Setelah berjalan lumayan jauh, saya bingung, kenapa tidak ada tanda-tanda keraton? Malah saya menemui SD Negeri dan satu jalan kecil dengan kotoran sapi bertebaran. Setelah bertanya-tanya, ternyata saya sudah kelewatan jauh. Terpaksa saya berjalan balik.

Sepanjang nyasar itu, saya melihat berbagai bangunan-bangunan tua yang menarik. Termasuk rumah bersalin yang tampangnya tidak meyakinkan. Apa iya ada yang berani bersalin di situ, pikir saya?

Memasuki keraton, saya disambut dengan taman besar di tengah yang dikelilingi selasar. Layout ini biasanya disebut sebagai pekarangan (courtyard). Patung putih  bergaya eropa terletak di tengah taman dikelilingi oleh pagar besi dan pilar-pilar pendek berwarna putih. Sementara selasar yang mengelilingi taman tersebut didominasi oleh warna biru dan putih. Biru untuk pintu, tiang besi dan talang air hujan, dan putih untuk dindingnya. Lampu hias gantung bergaya antik digantung sepanjang koridor. Tegel berwarna abu-abu yang menjadi lantai menambah kesan Keraton ini sebagai tempat yang sejuk dan mengayomi.

Gerbang utama Keraton yang tidak bisa dilewati pengunjung biasa

Rumah Bersalin yang meragukan

Taman di tengah Keraton dengan patung bergaya Eropa

Selasar yang asri

Salah satu bagian cekungan di dinding selasar dimanfaatkan sebagai toko suvenir yang juga menjual minuman dingin.

Dari situ saya masuk ke pintu di sisi sebelah kanan yang ternyata sebuah pekarangan luas. Di salah satu sisi tembok terlihat bangunan lima lanti berbentuk segi delapan. Sedikit mirip dengan pagoda, namun yang ini bernuansa biru dan putih.

Berbeda dengan sebelumnya, pekarangan yang ini tidak ditumbuhi rumput, melainkan ditutupi oleh kerikil-kerikil kecil. Kami diperingati untuk tidak naik ke atas selasar dan tetap dalam batas-batas yang ditentukan. Beberapa bahkan diminta untuk melepaskan alas kaki. Pohon-pohon besar yang rindang meneduhi pekarangan ini. Lagi-lagi banyak patung putih bergaya Eropa di sisi-sisi bangunan. Bahkan kepala kolom pun berbentuk Corinthian. Saya sempat berpikir apakah ini pengaruh dari penjajahan Belanda atau bagaimana. Sayangnya tidak ada brosur yang bisa menceritakan mengenai Keraton ini.

Pekarangan di sisi sebelah kanan

Patung putih bergaya Eropa di sekeliling Keraton

Kepala kolom bergaya Corinthian 

Saya kembali ke courtyard pertama dan menyusuri ruangan-ruangan di sekeliling selasar ini. Ternyata ini adalah museum yang menyimpan benda-benda bersejarah. Mulai dari fragmen candi hingga kereta keraton dapat ditemui di sini. Di salah satu ruang kereta Keraton, kami (saya kebetulan bertemu dengan seorang gadis bersama ibunya), dipaksa berfoto di depan kereta. Dan Bapak ini meskipun tidak bisa mengoperasikan kamera saya tetap memaksa untuk mengambil foto kami. Ujung-ujungnya dia menagih duit Rp 15,000,- (berarti Rp 5,000,- per orang).


Kereta kuda Keraton

  
Dipaksa berpose bersama oleh si Bapak penjaga

Dari keraton saya berjalan ke Pasar Klewer dan berbelanja di sana. Pasar ini mirip Pasar Pagi di Jakarta. Jalan-jalan yang sempit masih dipenuhi oleh pembeli di dua sisi sehingga saya harus berjalan ala kepiting (menyamping - red) supaya bisa menerobos kerumunan orang. Di bagian belakang, barulah saya menemukan bagian yang menjual baju-baju batik. Bagian sini sedikit lebih leluasa dibandingkan bagian depannya. Lepas memborong batik yang lumayan banyak, saya naik taxi menuju Kampung Batik Laweyan yang berada di sekitar hotel.

Kampung Laweyan sedikit mengingatkan saya akan jalan-jalan di Bali.  Bedanya yang ini jauh lebih sepi dan jenis yang ditawarkan hanya Batik. Memang harus diakui bahwa desain dan kualitas Batik yang ada di sini jauh lebih bagus daripada yang ada di Pasar Klewer. Berhubung harganya cukup tinggi, saya hanga membeli beberapa batik di sini. Kalau di Pasar Klewer masih mungkin mendapatkan atasan batik di bawah Rp 50,000,- di Laweyan paling murah Rp 60,000,-.

Suasana pertokoan di Kampung Laweyan

Saya sempat berjalan cukup jauh untuk mengambil uang di ATM Mandiri yang terletak di jalan raya. ATM ini terletak di samping toko batik Omah Laweyan. Di teras toko terlihat beberapa wanita sedang membatik. Mungkin ini  disengaja sebagai bagian dari atraksi untuk menarik pengunjung datang ke sini. Kalau ada waktu, sebenarnya menarik untuk menelusuri gang-gang kecil di Laweyan, karena masih banyak toko-toko rumahan di dalam gang-gang kecil ini dan harganya jauh lebih murah dibanding toko  yang ada di jalan besar (jalan yang dilalui mobil).
 
Para wanita membatik di depan toko batik Omah Laweyan

Malam itu saya memutuskan jalan-jalan ke Solo Paragon, berhubung di dekat hotel tidak ada tempat makan. Di lantai atas terdapat food-court bergaya outdoor yang sedikit mirip dengan Food Village-nya Vivo City di Singapura.

Saya adalah satu-satunya pengunjung di sini dan banyak kios yang sudah tutup. Saya menanyakan keheranan saya mengapa begitu sepi. Mba yang di kasir menjelaskan bahwa food court ini hampir tutup karena kontrak hampir habis. Memang food court ini dibuka sementara untuk mendatangkan penghasilan tambahan sementara gedung yang baru belum siap beroperasi. Sekarang gedung yang baru sudah siap beroperasi, jadi food court ini akan segera ditutup.

Solo Paragon, salah satu
shopping mall besar di Solo
(perhatikan aksara Jawa di bawah)

Setelah berbelanja di Carrefour selepas makan, saya pulang ke hotel untuk beristirahat. Waktu terasa berjalan lebih lambat di Solo.

Comments

Popular posts from this blog

Perbandingan harga filter air rumahan di 3 toko LTC

Palesa (part 1)

Yogyakarta, 25 Mei 2013