Semarang, 30 Mei 2013 (part 2)


Tujuan: Simpang Lima, Lawang Sewu, Masjid Agung

Dari Sam Po Kong, saya menuju ke Simpang Lima. Tujuan saya adalah Lawang Sewu. Arti dari kata Lawang Sewu sendiri berarti Seribu Pintu.

Lawang Sewu memiliki 4 bangunan yang dinamai sebagai bangunan A, B, C dan D. Di halaman depan dekat pintu masuk terdapat monumen lokomotif tua. Dua menara tinggi yang berbentuk seperti minaret terdapat di bangunan A yang menghadap ke Simpang Lima.

Monumen lokomotif tua dekat pintu masuk

Saya beruntung bahwa sebagian dari bangunan ini baru saja direnovasi, sehingga bangunan berarsitektur kolonial ini terlihat bersih dan menarik.  

Sayangnya bangunan A yang sedang dipakai untuk seminar, sehingga saya tidak memasuki bangunan ini. Saya hanya bisa mengeksplorasi bangunan B dan C.

Di dalam bangunan B terdapat miniatur Lawang sewu dalam 2 skala, lengkap dengan gambar cetak biru arsitekturnya yang masih berbahasa Belanda. Gambar-gambar arsitektur yang masih dibuat dengan tangan ini membuat saya sebagai arsitek masa kini bersyukur dapat hidup di era digital, sehingga saya tidak perlu lagi mengerik tinta di atas kertas apabila terjadi kesalahan. Belum lagi kalau tinta beleberan (maklum, saya bukan tipe orang yang sabaran).


Miniatur Lawang Sewu yang cantik

Pintu kepryak kayu di sepanjang bangunan menghubungi antara satu ruangan dengan ruangan lainnya, atau ke koridor panjang di sekeliling bangunan. Bangunan B terdiri atas 3 lantai dimana dua lantai pertama dulunya dipakai sebagai kantor dan lantai ketiga dipakai sebagai ballroom (ruang dansa).

Konon bangunan B ini berhantu, karena pada zamaan penjajahan Jepang bangunan ini dipakai sebagai penjara tahanan. Hal ini saya dengar dari supir taksi pada malam sebelumnya saat saya baru tiba di Semarang. Tidak ada kesan ngeri di lantai 1 sama sekali karena lantai 1 sudah direnovasi semua, sehingga berkesan baru dan juga cahaya menerangi ruangan.

Begitu memasuki lantai 2, kesan seram mulai terasa karena hanya sebagian bangunan yang sudah direnovasi. Langit-langit yang terbuat dari triplek sudah menjuntai dan cat dinding ruangan juga mengelupas di sana sini. Ada sekelompok anak muda sedang berlatih fotografi di sana. Selain mereka, terdapat rombongan anak SD yang tidak terlalu banyak. Berbeda dengan lantai 1 di mana koridor terdapat di sisi kiri dan kanan, di lantai 2, ada koridor panjang yang agak gelap di tengah2 ruangan. Kebetulan saya sedang berada di ujung bangunan yang agak sepi. Tiba2 saya melihat anak SD yang berdiri di tengah koridor yang agak gelap. Lalu anak itu berlari dan menghilang. Hiii.....serem juga.

Anak SD yang bikin seram suasana

Tak heran namanya Lawang Sewu
(ini koridor lantai 1 yang sudah direnovasi)

Saya menemukan tangga di ujung bangunan yang menuntun saya ke lantai 3. Suasana di lantai 3 ini paling seram diantara yang lain, karena sama sekali belum tersentuh renovasi. Ruangan ballroom ini merupakan attic (ruang bawah atap). Struktur atap yang telanjang terekspos, sehingga kita bisa melihat beberapa genteng yang bolong di sana sini. Di ujung ruangan terdapat struktur atap kecil (atap di dalam atap) dimana kita bisa mengintip ke lantai 2. Entah apa maksudnya si arsitek membuat struktur aneh ini.

Lantai 3 yang dulunya merupakan ballroom
Dance, anyone?

Koridor di lantai 2 dimana langit-langit belum direnovasi

Saya tidak berlama-lama di lantai 3, karena selain tak banyak yang bisa dilihat, berada di lantai ini juga membuat perasaan tidak nyaman. sayangnya saya tidak menemukan jalan ke ruang bawah tanah di bangunan B ini. Mungkin ditutup. Tapi setelah baca-baca sejarah ruang bawah tanah yang merupakan tempat penyiksaan ini, saya bersyukur juga saya tidak sempat ke bawah tanah. Di lantai 2 dan 3 yang terang saja sudah seram, apalagi di bawah tanah?

Di bawah, saya ke bangunan C yang ternyata berfungsi sebagai toilet. Pintu masuknya cukup unik, mengingatkan saya pada arsitektur Mesir, terutama dengan warna bata kuningnya.

Urinal pria juga sangat besar dibanding urinal jaman sekarang. Bau pesing masih tercium.

Urinal kuno

Saya tidak ke bangunan D karena tidak terbuka untuk umum. Hari sudah sore ketika saya meninggalkan Lawang Sewu.

Saya menyusuri jalan di sepanjang Simpang Lima. Niatnya mencari oleh-oleh. Di sepanjang jalan dijual lumpia Semarang. Saya tidak tahu yang mana yang enak kalau antara tukang yang satu dengan yang lain hanya berbeda beberapa meter? Setelah berbelanja oleh-oleh, saya berniat mengambil uang di BCA dekat Bandeng Juwana. Rupanya ATM-nya sedang diservis, jadi saya menunggu di dalam toko Bandeng Juwana sebentar. Tapi kaki yang lelah membuat saya duduk disini cukup lama sambil mengamati foto-foto artis yang terpampang di dinding.

Dari sana saya naik angkot ke Mal Ciputra (ternyata di Semarang jg ada, bukan hanya di Grogol Jakarta). Di sini saya menyempatkan diri untuk menikmati makanan khas Semarang yaitu tahu gimbal yang disarankan oleh teman saya. Tahu gimbal sendiri rasanya mirip dengan petis yang ditambah telur goreng ceplok, lontong dan rempeyek udang. Lumayan juga untuk mengisi perut yang keroncongan setelah jalan di bawah terik matahari seharian. Rasanya pedas dan segar.


Tahu gimbal

Saya sempat mencari-cari pijat seluruh badan di 2 mall ini (Mal Ciputra ini terhubung dengan satu mall lainnya). Ternyata tidak ada, yang ada hanya pijat refleksi di salon-salon. Berhubung harganya yang sama dengan di Jakarta, saya pikir mending saya pijat seluruh badan di Pluit.

Gara-gara sibuk mencari-cari tempat pijit dan keasyikan menikmati AC, saya jadi kesorean untuk ke Masjid Agung. Hari sudah maghrib saat saya tiba di sana.

Masjid ini sendiri lumayan spektakuler dari segi ukuran. Plaza yang berbentuk setengah lingkaran dengan lengkungan-lengkungannya saya merasa seperti di Timur Tengah. Sayangnya payung raksasa yang diceritakan teman saya itu tidak terkembang, sehingga saya tidak bisa melihat strukturnya seperti apa.

Karena sudah maghrib, saya terpaksa menggunakan ISO tertinggi di kamera saya untuk mendapatkan hasil foto yang lumayan terang. Sayangnya foto-fotonya menjadi penuh dengan noise.

Kemegahan arsitektur Masjid Agung


Dari Masjid Agung saya kembali ke hotel dengan tubuh letih. Hari ini adalah hari terakhir dari perjalanan panjang saya menyusuri 3 kota. Besok pagi saya akan kembali ke Jakarta dengan kereta api.

Comments

Popular posts from this blog

Perbandingan harga filter air rumahan di 3 toko LTC

Palesa (part 1)

Yogyakarta, 25 Mei 2013