Yogyakarta, 26 Mei 2013

Pagi hari setelah mandi, saya menuju ke tempat sarapan. Di situ sudah berkumpul ke-3 tur guide yang terlihat asik berdiskusi di depan laptop dan beberapa peserta lainnya.

Sarapan pagi itu adalah nasi goreng kucing dengan telor ceplok. Maksudnya, nasi goreng dengan porsi kucing. Saya saja yang kecil badannya ga kenyang, apalagi yang cowo? Saya lihat cowo sebelah saya sudah menghabiskan 2 piring.

Kebetulan saya duduk dengan segerombolan peserta yang saya dengar akan berencana ke Borobudur. Mereka berjumlah 5 orang. Salah satu dari mereka adalah yang beragama Buddha dan kecewa karena kemaren tidak bisa melihat prosesi Waisak. Saya berjalan ke meja lain & saya dengar grup ini mau pergi ke Keraton sendiri.

Benar-benar kacau. Rupa-rupanya karena tidak ada ketegasan dari grup leader mengenai rencana hari ini, ditambah kekecewaan yang sudah memuncak akan kekacauan jadwal hari kemaren, semua peserta sudah membuat acara masing-masing. Tentunya dengan konsekuensi tambahan biaya dari kantong masing-masing.

Kemaren kami dijanjikan pagi ini akan ada cave tubbing dan rafting pengganti acara kemaren yang batal. Tapi tur guide tidak pernah mengumumkan secara publik, jam berapa harus kumpul, jam berapa kami jalan, dsb.

Saya berencana mau ikut jalan ke Keraton. Setelah mandi, saya cari grup yang mau ke Keraton itu, rupanya mereka sudah jalan duluan karena taxi-nya sudah datang. Akhirnya saya memutuskan bergabung dengan tur kami karena memang mereka sudah mau jalan.

Sebelum berangkat, kami berpose di depan Hotel Agung (lebih tepat disebut Losmen, menurut saya). Sempat terjadi tunggu menunggu lagi karena beberapa orang menghilang tanpa kabar. Tidak heran. Semua peserta begitu kecewa akan servis dari tur ini dan mereka berpikir, kami sudah di Yogya, masa tidak lihat apa-apa? Akhirnya mereka-pun jalan masing-masing.


Foto bersama sebelum grup ini berpisah
(note: foto ini bukan hasil jepretan saya)

Beberapa dari kami turun di Tugu Yogyakarta untuk membeli tiket, sementara saya dengar para bule sudah membeli tiket pesawat untuk balik ke Bandung/Jakarta. Kami sendiri menuju ke Keraton. Jumlah peserta yang tadinya 70 orang (2 bis) sekarang tinggal 16 orang saja dan semuanya masuk ke bis kecil. Bayangkan betapa kacaunya tur ini.

Memasuki keraton, saya lumayan kaget, kok seperti tidak ada usaha konservasi dan renovasi dari pemerintah untuk keraton yang besar ini. Semua terkesan kumuh dan tua. Teringat akan perjalanan ke Museum Zoologi Bogor beberapa minggu lalu, semua display masih terbuat dari kayu dan kaca dengan model tahun 70-an. Cuma bagian rangka ikan paus yang ada perbaikan.

Sementara di dalam juga saya sibuk mengeringkan lensa dan kamera yang masih basah karena kehujanan kemaren. Hasilnya foto-foto saya foggy dan saya tidak bisa foto banyak di sini.

Suasana di dalam Keraton (salah satu foto yang saya ambil di Keraton)

Kurang dari 1 jam, kami sudah berkumpul kembali di luar. Di pelataran luar di bawah sebuah pohon besar, beberapa pedagang menawarkan suvenir dan oleh-oleh khas Jogja. Mulai dari blankon, gelang kayu, dompet batik, kipas, sampai bakpia juga ada di sana.


Para pedagang berlomba menawarkan dagangan mereka

Saya sempat mendengar teman saya akan menuju ke Istana Taman Sari (atau yang di jadwal tur disebut sebagai Underground Mosque). Tunggu punya tunggu, mereka seperti menghilang. Saya bertanya kepada Kang Rahmat, kapan kami akan berangkat. Karena teman saya sudah menunggu di hotel Ambarukmo & jam 1 kami akan dijemput untuk berangkat ke Prambanan (mereka sudah menyewa mobil). Kang Rahmat bilang bahwa dia menelpon mereka tapi tidak diangkat. Dalam hati saya berpikir, Mungkin mereka sudah terlalu kesal makanya tidak mau mengangkat telpon.

Akhirnya saya yang menelpon teman saya. Dan betul saja, mereka masih di dalam Taman Sari. Saya segerea meminta mereka kembali. Teman saya berdalih bahwa dari kemaren jadwalnya selalu molor, makanya mereka bersantai-santai di Taman Sari. Padahal Kang Rahmat bilang mereka sudah keluar dari Taman Sari dan dalam perjalanan balik ke Keraton.

Saya bingung, jadi ini yang tur guide siapa? Kenapa saya yang harus menelpon para peserta & mengecek keberadaan mereka? Sementara yang tur guide malah ngobrol2. Padahal saya sudah ada jadwal lain menunggu. Tepat pukul 12 akhirnya kami memutuskan untuk meninggalkan mereka, setelah meminta mereka lsg menuju Malioboro.

Di Malioboro, saya langsung naik taksi ke Ambarukmo. Wah, saya merasa dilihatin penduduk karena tas ransel yang gede banget. Cewe dan sendirian pula. Cuek, cuek....dalam hati saya mengingatkan diri saya. Hehehe....

Sesampainya di Ambarukmo, saya bergegas ke Plaza Ambarukmo untuk ketemu teman yang kebetulan berkunjung ke Jogja dari Surabaya. Pertemuan itu hanya berlangsung 15 menit, karena saya ditelpon bahwa jemputan untuk ke Prambanan sudah datang. Jadi saya segera balik ke hotel.

Sebelum menuju Ambarukmo, kami makan siang bersama di gudeg yang terkenal, yaitu gudeg Yu Djum. Tempatnya kecil dan harus masuk gang yang hanya bisa dilewati motor. Tapi rasanya memang mantap. Gurih dan terasa bumbunya. Saya yang mulai suka gudeg sejak saya kuliah di Bandung lsg bisa merasakan perbedaan antara gudeg yang di Bandung dan di Jogja ini. Tempatnya sendiri masih dipertahankan bernuansa jaman dulu. Antrian bisa terlihat di bagian kasir dimana pembeli sekali membeli bisa beberapa bungkus sekaligus.

Gudeg Bu Djun yang terkenal

Setelah kenyang, kami menuju Prambanan. Dalam mobil kami sibuk bercanda soal tur kacau kemaren. Kami lega sekali bahwa kami sekarang punya mobil sendiri yang tidak bau rokok dan juga yang pasti tidak ada lagi jadwal yang molor.

Setibanya di Prambanan, kami harus memakai kain yang diikatkan ke pinggang sebelum masuk. Berbeda dengan di Bali di mana kainnya harus panjang sampai ke mata kaki (atau setidaknya melewati lutut) dan beragam warna, di sini kainnya seragam. Kami sempat berfoto bersama di depan Prambanan.

Mejeng di depan Prambanan
(lagi-lagi foto tidak terlalu bagus karena kamera saya masih lembab)

Teman-teman saya sudah pernah ke Prambanan, jadi mereka tidak terlalu concern untuk mengitari kompleks Prambanan. Tapi saya sendiri baru pertama kali ke sana. Jadi saya segera mengambil kesempatan secepatnya mengitari kompleks sambil sesekali masuk ke dalam ruangan kecil di dalam candi itu. Di salah satu candi, saya menemukan patung  berwajah 4. Saya berusaha mengingat-ingat siapakah itu. Barusan googling, rupanya dia adalah Brahma (dewa kebaikan). Patung ini ternyata berada di dalam Candi Trimurti dan berasal dari abad ke-9.


 
Patung Brahma
(note: foto diambil dari wikipedia. 
Karena foto yang saya ambil adalah vertikal & tidak bs
lsg dirotate kalau diupload ke blogspot. Repot memang)

[Catatan: Jika Anda peminat fotografi, silahkan mampir di blog saya untuk melihat beberapa hasil jepretan saya di Prambanan & Candi Ratu Boko, di sini.]

Saya baru saja berdiri di antrian untuk masuk ke dalam candi yang terbesar ketika saya menerima whatsapp bahwa teman-teman sudah mau balik ke mobil untuk menuju ke lokasi selanjutnya yaitu Candi Ratu Boko. Kami memang berencana untuk foto sunset di sana. Saya mempercepat langkah dan berhasil menyusul mereka. Mungkin ini juga sebabnya saya lebih suka pergi sendiri, supaya kegiatan foto saya yang memakan waktu tidak mengganggu teman-teman lain.

Sesampainya di Ratu Boko, ternyata jam tutupnya adalah jam 6, bukan jam 5 seperti yang kami perkirakan. Sayangnya cuaca lagi-lagi kurang bersahabat. Gerimis turun dan langit berawan. Saya hanya mengambil beberapa shot di sini. Untungnya karena tidak terlalu ramai, saya masih sempat memasang tripod di sini dan mencoba berbagai aperture dan speed untuk mendapatkan hasil foto yang bagus. Tetap saja, tidak ada warna orange kemerahan di langit karena tertutup awan.

Akhirnya kami foto-foto sebelum beranjak balik ke mobil. Di salah satu cafe, teman saya menunjukkan Prambanan yang terletak di kejauhan dan bisa terlihat dari cafe itu. Keren juga. Sayangnya bahkan lensa saya hanya sanggup menangkap sebagian dari pemandangan itu.


Prambanan yang menjulang megah di tengah gemerlap lampu kota



Mejeng di depan Ratu Boko


Setelah meminta ijin, kami mulai menyalakan lampion-lampion yang kami bawa. Karena kemaren tidak berhasil menerbangkan lampion di Borobudur, kami berusaha menebus rasa kecewa itu dengan merayakannya di sini. Lumayan juga, setelah beberapa lama satu persatu lampion mulai terbang tinggi di tengah kegelapan malam. Gerimis juga mulai turun. Sementara beberapa pengunjung di situ bertanya pada kami dimana kami mendapatkan lampion itu. Saya sih hanya puas dengan duduk dan mengambil foto-foto teman.

Lampion-nya masih kempes nih...

Siap-siap terbang...

 Yay...siap lepas landas!

Malamnya, kami berencana ke Malioboro. Saya ikut ke Malioboro, tapi saya menemui teman saya yang tadi siang cuma sempat saya temui 15 menit. Hujan deras mengguyur Malioboro, sehingga kami cuma bisa berjalan di selasar yang dipenuhi asap rokok. Sungguh bukan pengalaman yang menyenangkan.

Saya berusaha mengejar waktu untuk bisa ke Mirota (department store - red), tapi sesampainya di sana, ternyata sudah tutup. Jadi saya menyebrang dan makan di salah satu angkringan. Pedasnya bukan main. Akhirnya saya tidak bisa menghabiskan makanan saya, padahal saya lapar. Harganya juga mahal sekali (mendingan makan di KFC kali lain kali).

Setelah itu kami berjalan menyusuri Malioboro & bertemu grup teman dari teman saya ini. Mereka sedang makan malam. Kami bergabung dengan mereka. Saya memesan semangkuk wedang ronde yang memang terletak tak jauh dari sana. Asik sekali duduk lesehan menikmati wedang ronde sambil mendengarkan live music yang terletak hanya beberapa meter dari kami.


 Wedang ronde (foto pake hp, makanya jelek. Hehehe..)

 Live music di dekat kami duduk lesehan

Tak lama, saya mendengar lagu "Yogyakarta" dari Kla Project dilantunkan. saya senyum-senyum sendiri. Pas banget ya. Kok ga ada yah lagu Jakarta? Hehehehe....

Enak banget bisa nyantai malam-malam tanpa harus mikirin kerjaan (huehehehehe....bikin ngiri teman2). Tak lupa saya mengirimkan foto wedang ronde ke grup whatsapp teman2. Hahahaha.... Pokoknya bikin iri dulu, biarpun kenyataan beda dari foto. LOL.

Setelah itu saya kembali ke hotel naik taksi. Malam itu akhirnya saya bisa menikmati kasur yang lurus dan empuk. Enaknya. Saya segera tertidur pulas karena memang capek banget setelah duduk 32 jam dalam bis dan kehujanan di Borobudur pada malam sebelumnya.

Besok saya akan menuju Solo. :)

Comments

Popular posts from this blog

Perbandingan harga filter air rumahan di 3 toko LTC

Palesa (part 1)

Yogyakarta, 25 Mei 2013