Yogyakarta dan Solo, 27 Mei 2013


Pagi ini saya langsung drop ransel ke Stasiun Tugu Yogyakarta. Kereta ke Solo berangkat jam 2.36 siang. Untungnya dapat info dari teman kalo di sana ada penitipan barang. Setelah titip barang, iseng-iseng saya bertanya apakah ada rental mobil di sana. Ternyata ada. Jadi saya langsung menyewa untuk 6 jam.

Dari sana, saya sempat mampir sebentar ke hotel untuk mengambil charger yang tertinggal. Kemudian langsung menuju Mirota untuk belanja sebentar. Dari Mirota, saya juga menyempatkan diri membeli oleh-oleh. Saya menjemput teman saya dan kemudian langsung menuju Ullen Sentalu di Kaliurang.

Saya mendapatkan rekomendasi mengenai tempat ini dari 2 kolig saya. Berhubung saya susah untuk koneksi ke internet lewat hp, jadi saya cuma bisa mengira-ngira seperti apakah Ullen Sentalu yang terkenal ini.

Perjalanan ke sana cukup menyenangkan. Karena letaknya yang cukup di atas bukit, kami bisa menikmati angin sejuk dan hijaunya pepohonan di kiri dan kanan. Kurang lebih sejam kemudian kami tiba di sana.

Ternyata sekali lagi saya harus kecewa. Ullen Sentalu tutup setiap hari Senin. Dan semua museum di Yogya juga tutup hari senin. Duh! Seandainya saya bisa konek ke internet, saya tidak perlu bersusah payah sampai membuang uang untuk menyewa mobil demi ke tempat ini.

Tapi ya sudahlah, mau gimana lagi? Saya foto-foto bagian luar dan kemudian meminta pak Supir mengantarkan kami ke tempat wisata yang berada di sekitar situ.

Tampak depan Ullen Sentalu
Belum masuk saja saya sudah bisa membayangkan
asiknya mengeksplorasi arsitektur bangunan ini

Lokasi pertama yang diantar adalah Plawangan, yang katanya berarti tempat pemantauan. Saya pikir tempat ini cukup besar atau spektakular, tapi ternyata cuma taman kecil dengan beberapa gazebo. Memang intinya cuma untuk menikmati pemandangan.

Berpose di Plawangan

Akhirnya saya minta untuk diantarkan lagi ke tempat wisata lain terdekat. Pilihannya adalah Museum Merapi atau Nirmolo. Berhubung saya takut Museum ini bakal tutup lagi seperti Ullen Sentalu, akhirnya saya memilih ke Nirmolo (Goa Jepang). Lagipula saya hanya punya beberapa jam sebelum kereta saya berangkat dari Yogya pukul 14.36.

Saya tidak mengira kalau ternyata Goa Jepang ini harus dicapai melalui hiking. Saya suka hiking, tapi hiking membawa kamera DSLR bukan ide yang bagus. Saya sempat bertanya jarak untuk mencapai goa ini. Katanya cuma 1km. Oke lah, pikir saya. Saya pernah hiking sampai 13km, jadi saya pikir ini harusnya bisa ditempuh.

Loket masuk Nirmolo (Goa Jepang)

 Pemandangan jalan setapak selama hiking

Ternyata medan yang harus dilalui tidak semudah yang saya bayangkan karena kondisi tanah yang becek dan licin sehabis hujan. Saya memakai sandal Crocs (bukan paduan yang cocok dengan tanah becek). Kurang lebih 90% perjalanan, kami dihadapkan oleh tumpukan tanah vertikal setinggi kurang lebih 1,5 m. Tinggi saya sendiri hanya 1,52m. Jadi bisa dibayangkan. Bukan tidak bisa, tapi saya harus mengorbankan tangan dan tas kamera saya untuk mendaki tumpukan tanah itu karena di sebelah kanan dan kiri tidak ada pepohonan yang bisa dipakai sebagai tumpuan.

Akhirnya saya harus menyerah. Saya tidak ingin kembali ke mobil dengan keadaan belepotan tanah. Kami sempat melihat gua pengintaian dalam perjalanan naik.


Goa Pengintai

Selama perjalanan naik, kami juga melihat Demplot Kolam Amfibi di beberapa titik. Sebenarnya ini cuma berupa kendi berisi air dimana hewan amfibi bisa berkembang biak. Salah satu upaya pengendalian ekosistem yang menarik.

Demplot Kolam Amfibi

Satu jam kemudian kami tiba kembali di mobil dalam keadaan berkeringat. Tapi segar rasanya setelah berkeringat hiking dan menghirup udara di pegunungan.

Teman saya mengajak saya makan siang di rumah makan Moro Lejar, yang terletak di Jalan Pakem, cangkringan KM 2. Begitu tiba di tempat, saya tidak mengira sama sekali kalau ini rumah makan. Karena tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan kalau ini sebuah rumah makan. Tidak ada meja atau kursi, melainkan sebuah ruang tamu besar yang kosdengan satu meja kasir kuno dari kayu berwarna coklat tua di sudut.

Setelah melewati ruangan ini, barulah kami disambut oleh selasar-selasar terbuka yang bercabang ke pondok-pondok kecil di sebelah kiri dan kanannya. Mengingatkan saya akan Kampoeng Daun-nya Bandung. Bedanya, yang ini lebih ndeso dan lebih non komersil. Arsitekturnya benar-benar sederhana dan seperti terkesan kampung asli karena unsur kerapihan justru ditiadakan di sini.


Suasana asri dan ndeso di Moro Lejar

Arsitektur sederhana dan bergaya kampung ala Moro Lejar

Kami memesan ikan yang katanya merupakan menu andalan di sini. Kepiawaian juru masaknya mengolah ikan membuat kita seakan ingin menambah sesuap lagi. Tapi kangkung cah terasi-nya sih biasa saja, tidak spesial. Sayur asem-nya malah bening banget, sampai saya bingung.

Selesai makan, saat membayar, saya mengambil sebuah brosur di meja kasir yang bercerita mengenai asal usul kata Moro Lejar. Moro Lejar sendiri artinya Mari Mampir (kurang lebih begitu menurut teman saya). Nama ini diberikan oleh seorang rabib tua (petapa/rohaniwan). Di dalam brosur tersebut tertulis mengenai makna kata "Lejar".

"Kata LEJAR berasal dari bahasa Jawa yang erat hubungannya dengan kata penggalih (lejar ing penggalih). Kata LEJAR sulit dicari kata sinonimnya. Dalam kata LEJAR terkandung unsur-unsur suasana....hati, jiwa, sedang berkenan, sedang longgar, sedang dalam suasana damai. Makna nama MORO LEJAR inilah yang kami usahakan untuk dirasakan, dialami, dihayati oleh para tamu yang sudi datang ke warung kami. Semoga para tamu juga menemukan, merasakan apa yang dirasakan dan ditemukan Bapa Rahib Tua itu."


Di dalam brosur ini juga diceritakan mengapa Moro Lejar memakai arsitektur tradisional. Pilihan bahan tiang beton dan atap seng akhirnya diganti dengan bambu dan welit daun tebu, supaya murah dan ndesani.

Akhirnya saya tiba kembali di Yogya & segera berangkat dengan Lodaya Pagi menuju stasiun Solo Balapan. Menurut jadwal, saya akan tiba di Solo pukul 15.41.

Karena kelelahan hiking, saya tertidur sejenak, dan waktu terbangun tepat waktunya saya untuk turun. Seharusnya saya turun di satu stasiun sebelumnya karena lebih dekat ke hotel yang saya tuju, tapi karena saya ketiduran, saya akhirnya turun di Solo Balapan.

Sesampainya di sana, saya naik becak ke hotel. Menurut info yang saya terima dari supir mobil sewaan tadi, harga becak di Solo murah. Sebenarnya jaraknya cukup jauh dan mungkin lebih murah naik taksi. Tapi sudah lama saya tidak naik becak (maklum, di Jakarta sudah tidak ada becak. Kalaupun ada, mungkin hanya di pinggiran). Kapan lagi bisa naik becak dengan udara segar. Mengenang masa kecil. Hehehe....

Saya sempat mengalami kendala mengenai soal alamat hotel. Di Agoda, tertulis bahwa Hotel Mangkuyudan terletak di Jalan K.H. Samanhudi, Adisucipto. Tapi menurut abang becak, jalan Samanhudi dan Adisucipto itu terletak di dua area yang berbeda dan jauh dari ujung ke ujung. Saya sempat agak panik & mencoba menghubungi pihak hotel, namun tidak dijawab. Lalu saya menghubungi Agoda. Tak lama, Agoda menelpon balik dan mengatakan bahwa alamat hotelnya benar. Agoda menganjurkan saya menelpon hotel. Saya bilang bahwa saya sudah menelpon ke nomor itu (nomor handphone) tapi tidak diangkat. Jadi saya minta tolong Agoda untuk memberikan nomor hp saya ke pihak hotel spy mereka bisa menghubungi saya. Ternyata mereka tidak menghubungi saya balik.

Beruntung kami segera menemukan hotelnya, jadi saya tidak mau memperpanjang masalah. Tapi rupa-rupanya masalah tidak berhenti sampai di sana. Baru saja saya beristirahat sebentar di ranjang menikmati sejuknya ruangan ber-AC, tiba-tiba saya merasakan ada tetesan air dari langit-langit. Rupa-rupanya langit-langitnya bocor. Terpaksa saya harus pindah ke kamar Superior yang satu lagi.

Untuk review selengkapnya mengenai Hotel Mangkuyudan, bisa dibaca di blog saya di sini (to be updated).

Di kamar yang baru juga ada beberapa masalah, tapi setidaknya saya tidak usah takut tidur kebasahan. Saya mengirim pesan lewat whatsapp dan menanyakan beberapa hal kepada kolig saya yang orang Solo. Dia menganjurkan ke Galabo.

Berhubung teman saya yang di Solo ternyata sedang free, jadi dia sempat mengantarkan saya ke beberapa tempat malam itu. Kami menikmati nasi liwet Bu Wongso di Keprabon yang terkenal. 

 Papan nama nasi liwet Bu Wongso

Nasi Liwet Bu Wongso

Setelah itu, kami pergi ke Galabo. Galabo sendiri adalah sebuah jalan yang ditutup pada malam hari dan berubah fungsi menjadi tempat wisata kuliner malam. Nama Galabo berasal dari singkatan Gladag Langen Bogan.

Di ujung jalan terdapat sebuah 'monumen' kecil berbentuk tempat menanak nasi dari anyaman bambu di atas sebuah tungku pembakaran jaman dulu yang masih menggunakan kayu bakar. Patung anyaman bambu ini sendiri terbuat dari tembaga.




 'Monumen' di depan Galabo

Sepanjang deretan itu terdapat jajanan kaki lima, yaitu gerobak-gerobak yang berjejer rapi di petak-petak yang tersedia. Di setiap petak yang terletak di ats platform dan dibatasi oleh struktur tiang, terdapat 1 gerobak yang menjual 1 jenis makanan. Sementara pengunjung bisa menikmati makanannya di meja yang berjejer rapi di sepanjang jalan.

Di sisi sebelah kanan jalan terlihat rel kereta api yang katanya dilalui oleh kereta wisata Sepur Jaladara. Info mengenai kereta ini akan ada di blog saya selanjutnya.

 Abang becak yang berpose di depan monumen

 Suasana Galabo di malam Senin

Berdiri di sisi yang berhadapan dengan deretan petak kaki lima tersebut adalah mall PGS (Pusat Grosir Solo) dan BTC (Beteng Trade Center). Saya sempat diceritakan bahwa "atap" rangka kuning baha yang menggantung secara overhang itu bisa dioperasikan secara manual (bisa ditarik masuk dan diulur keluar). Konsep yang menarik. Menurut dia, perbaikan atap ini dilakukan oleh Gubernur Solo yang baru.

Terus terang Galabo mengingatkan saya pada daerah Lau Pa Sat di Singapura.

Di tengah-tengah deretan ini juga terdapat live music sehingga pengunjung bisa makan sambil menikmati musik. Karena kebetulan saya datang pada hari Senin, tidak banyak pengunjung di sekitar Galabo.

Live music di Galabo


 Puas menyusuri Galabo, saya diajak mencoba jajanan malam Wedang Kacang Putih. Saya sempat bingung mendengarnya & sambil membayangkan rasanya akan seperti apa. Wedang ini tersedia di Warung Jajan Sri Redjeki yang ternyata berlokasi di samping Keraton. 

Wedang Kacang Putih di Srie Redjeki

 Suasana warung Srie Redjeki

Sisi luar warung Srie Redjeki (teras)

Warung ini ternyata lumayan laris, bisa dilihat dari foto-foto para artis yang pernah mengunjunginya. Sudah lumrah di Indonesia kalau tempat makan yang didatangi para artis, pasti tak lupa pemilik rumah makan ini akan meminta tanda tangan, kata kenangan dan tak lupa foto bersama sebagai bukti kalau orang tenar pernah mampir di tempat mereka. Hehehehe....


Melly pernah ke sini loh...

Wall of Fame-nya Srie Redjeki

 Hiasan dinding yang diambil dari Amsal

Ternyata wedang kacang putih ini enak juga. Meskipun tempatnya sempit dan di pinggir jalan, tapi antrian mobil yang parkir di sisi jalan menandakan populeritas tempat ini. Selain wedang, Srie Redjeki juga menyediakan nasi kucing dan makanan lainnya.

Malam itu saya kembali ke hotel dengan perut kenyang. Kalau saya tidak menolak, saya masih mau diajak mencoba jajanan-jajanan lain khas Solo. Sayangnya perut saya sudah tidak bisa diajak bekerja sama.

Pemandangan hotel Mangkuyudan tempat saya
menginap (not recommended to stay)

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Perbandingan harga filter air rumahan di 3 toko LTC

Palesa (part 1)

Yogyakarta, 25 Mei 2013