Semarang, 30 Mei 2013 (part 1)
Part 1: Gereja Blendug, Masjid Agung Kauman, Pecinan dan Kelenteng Sam Po Kong.
Pagi ini tujuan pertama saya adalah Gereja Blendug. Tempat ini direkomendasikan oleh teman yang saya temui sewaktu ikut tur ke Yogya.
Ternyata Gereja Blendug adalah gereja dengan gaya arsitektural kolonial. Dengan kubah yang terletak di tengah bangunan satu lantai berdenah segi delapan tersebut, gereja ini terlihat unik. Meskipun sudah tua, ternyata gedung gereja ini masih terawat dengan baik. Nama gereja ini sebenarnya adalah GPIB Immanuel. Lukisan kaca patri yang cantik menjadi bagian dari jendela dan pintu gereja. Sayang gereja tidak buka (atau mungkin belum buka), sehingga saya tidak bisa masuk ke dalamnya.
Gereja Blendug
Dari Gereja Blendug, saya berjalan kaki menyusuri Kota Tua. Tepat di seberang Gereja Blendug, terdapat deretan toko-toko yang menempati bangunan tua. Salah satunya adalah toko barang antik bernama Samarang.
Saya sempat membuang waktu beberapa menit untuk mengambil foto-foto menarik di depan toko ini. Sebuah sepeda ontel tua, dan roda gerobak dari kayu yang tergantung di depan tiang menarik perhatian saya. Selain itu, ada sebuah patung kecil yang mengingatkan saya pada Voodoo Afrika. Patung ini terletak di sebuah altar merah yang tergantung di samping pintu. Biasanya altar seperti ini digunakan untuk menaruh pot yang dipakai untuk menancapkan dupa-dupa bagi umat Buddha. Tapi rupanya pemilik toko ini punya ide lain.
Bangunan lain yang terletak diagonal dari Gereja Blendug dan memiliki arsitektur yang khas adalah bangunan yang dipakai oleh Jiwa Sraya. Bangunan yang hampir berbentuk V ini memiliki 2,5 lantai dengan ciri khas warna putih dan abu-abu muda. Lagi-lagi ada kubah yang bertengger di atas gedung ini, meskipun bukan berbentuk setengah bola seperti yang dimiliki Gereja Blendug.
Bangunan Jiwa Sraya
Dari sana saya berjalan menyusuri jalan menuju area Kota Lama. Tujuan saya adalah Masjid Agung Kauman. Setelah beberapa menit berjalan dan tidak menemukan masjid itu, saya bertanya kepada seorang bapak. Rupa-rupanya saya salah jalan & beliau mengarahkan saya pada arah yang benar. Rupa-rupanya Gereja Blendug merupakan bagian dari Kota Lama itu sendiri. Beberapa gedung lain benar-benar tidak terawat dan ditumbuhi lumut atau pepohonan liar.
Kota Lama
Saya memutuskan untuk berjalan kaki menuju Masjid Agung Kauman, karena saya memang ingin mengambil foto-foto dan menikmati fabrik yang membentuk kota Semarang. Saya sempat mampir sebentar di Kantor Pos yang bersebelahan dengan Alfamart untuk membeli kopi dingin kesukaan saya. Semarang benar-benar panas. Dibanding Yogya dan Solo, matahari di Semarang jauh lebih terik.
Setelah melewati jalan-jalan kecil, akhirnya saya tiba juga di Masjid Agung Kauman. Saya tidak masuk ke dalam, sehingga saya hanya menikmati dari luar saja. Di salah satu atap, terdapat penunjuk arah yang terbuat dari kaligrafi yang saya rasa artinya kurang lebih "Allah".
Masjid Agung Kauman
Dari sana saya berencana untuk berjalan kaki menuju daerah Pecinan. Saya berjalan menyusuri pasar dengan deretan ruko bertingkat dua yang sebagian besar diantaranya menjual emas. Tiba di kawasan Pecinan yang ditandai dengan gerbang beratap Cina, saya disambut oleh jalanan dengan paving block dengan ruko 2-3 lantai di sisi kiri dan kanan. Atap-atap bergaya Cina menyembul diantara deretan ruko yang sebagian besar sudah berwajah modern.
Gerbang daerah Pecinan
Selain dari gang-gang sempit yang mengingatkan saya pada kawasan Petak Sembilan di Jakarta, tidak banyak nuansa Pecinan yang ditonjolkan di daerah sini.
Saya sempat mampir membeli kain batik di salah satu toko yang menjual kain batik. Selepas dari itu, sewaktu sedang asyik mengambil gambar, seorang Bapak menegur saya dan bertanya asal saya. Dari percakapan singkat itu, saya tahu bahwa dia yang bertanggung jawab untuk memasang papan nama di gang-gang itu. Rupanya dia mengira saya dari media. Dia sempat membanggakan keterlibatannya di kawasan itu & juga memberi tahu kalau di akhir pekan akan ada Pasar Malam di daerah itu. Sayangnya saya sudah harus kembali ke Jakarta hari Jumat pagi, jadi saya tidak akan sempat menikmati pasar malam itu.
Dari sana saya naik becak dengan tujuan menikmati Mie Titee di dekat Kelenteng. Rupa-rupanya abang becak mengantarkan saya ke warung bakmie yang salah (yang saya baru ketahui setelahnya). Saya diantar ke warung bakmie yang bernama Siang Kie. Saya sempat berpikir, "Kok tidak ada nama Titee di sini?" Selain itu, saya tahu kalau teman saya yang merekomendasikan mie ini adalah seorang muslim, rasanya tidak mungkin dia makan mie yang mengandung daging babi. Tapi rupanya mie Siang Kie juga lumayan enak. Uniknya, di atas mie Siang Kie ini terdapat irisan telur dadar.
Mie Siang Kie
Warung mie Siang Kie ini terletak di pinggir jalan yang berbatasan dengan sungai. Pagar pembatas sungai itu dihiasi dengan ornamen-ornamen khas Cina seperti naga, burung hong (burung Phoenix).
Selepas makan bakmie, perut saya terasa mulas. Saya segera bertanya di mana letak toilet terdekat. Enci pemilik warung mengatakan ada toilet yang terletak di belakang Kelenteng. Selesai dengan "urusan pribadi" saya berjalan keluar dan melihat warung yang bernama "R.M Diamond Day's" dan barulah saya melihat tulisan Mie Titee di sana. Hiks. Rupanya belum nasib saya untuk menikmati Mie Titee.
Kelenteng dekat Mie Titee
Dari sana, saya berjalan mengitari daerah kelenteng untuk foto2. Tak lupa saya juga mengambil gambar sebuah perahu besar bergaya Cina yang tertambat di sungai itu. Suasana Kelenteng sepi. Saya sempat melihat ada pasangan yang berfoto di atas perahu, tapi selain mereka tidak banyak pengunjung ke daerah ini. Sepertinya perahu ini ditujukan untuk keperluan wisata, tapi kurang jelas detailnya untuk kegiatan apa. Saya cuma mampir naik ke atas geladak perahu yang memang terbuka untuk umum.
Replika perahu yang dipakai Sam Po Kong
(Tambahan: sewaktu menulis blog ini, saya google mengenai Laksamana Cheng Ho, yang berkaitan dengan Kelenteng Sam Po Kong/tujuan berikut saya. Ternyata kapal ini merupakan replika dari kapal Laksamana Cheng Ho. Kapal ini berukuran panjang 41 meter, lebar 12 m dan tinggi 3 meter. Kapal ini juga digunakan sebagai tempat keramaian untuk acara-acara dari kaum Tionghoa di Semarang. Kapal ini tertambat di Kali Mberok. Menurut info dari Wikipedia, kapal Laksamana Cheng Ho yang terbesar mencapai 120m, jadi mungkin kapal yang ini hanyalah salah satu kapal dari armada besar Laksamana Cheng Ho).
Dari sana saya naik taxi ke Kelenteng sam Po Kong. Saya sempat hampir ditabrak truk yang sedang parkir mundur. Karena saya berdiri di belakang truk sewaktu menunggu taxi, jadi supir itu tidak melihat saya. Untung ada pengendara sepeda yang berteriak mengingatkan saya. Saya sempat dicium bagian belakang truk, tapi tidak keras. Terima kasih Tuhan untuk perlindunganmu.
Kawasan Kelenteng sam Po Kong terletak agak di pinggir kota. Di kawasan parkir, saya melihat ada bis parkir dengan spanduk "Peserta Reuni Alumni Mesin ITB Tahun 1961". Wah, rupanya ada rombongan Bapak2 dan Ibu2 yang ke sini.
Tiket masuk ke Kelenteng hanya seharga Rp 20.000,-. Memasuki kawasan Sam Po Kong yang disebut juga sebagai Gedung Batu, kita disambut oleh bangunan-bangunan yang didominasi warna merah dengan sedikit garis-garis kuning dan beratap khas Cina.
Gedung yang saya perkirakan gedung Utama karena ukurannya yang besar adalah sebuah gedung tanpa dinding beratap dua susun. Jalan menuju gedung ini melalui ramp (tanjakan tanpa tangga) yang terletak di sisi kiri dan kanan dan akan mengantar kita ke lantai dua. Lantai dua merupakan ruangan terbuka yang menghadap ke halaman besar. Sementara lantai satu digunakan untuk parkir dan terdapat beberapa ruangan yang saya perkirakan sebagai kantor administrasi.
Bangunan utama di Sam Po Kong
Bangunan yang terlihat masih baru direnovasi ini terlihat segar dengan perpaduan warna merah dan kuning. Saya sempat melihat sebuah plat dari fiberglass berbentuk setengah lingkaran dengan ornamen khas Cina yang rupanya digunakan sebagai pembungkus kolom. Enam buah patung yang menghadap halaman besar mengawal gedung ini, dengan 3 patung di masing-masing sisi.
Dari sini, saya turun dan berjalan ke daerah halaman. Mendekati sebuah patung besar yang terletak di samping gate bergaya Cina. Patung ini adalah patung Laksamana Zheng He, salah satu kasim kaisar Yung Li di negeri Tiongkok yang beragama Islam dan dianggap sebagai salah satu pembawa dan penyebar agama Islam ke Indonesia. Di bawah patung tertulis bahwa beberapa cendekiawan percaya bahwa Laksamana Zheng He dikuburkan di Semarang.
Sejarah di bawah patung Zheng He
Bangunan utama ini berseberangan dengan kompleks yang diperuntukan khusus untuk umat Buddhist bersembahyang. Sebuah kolam kecil membatasi antara kawasan untuk beribadah dan kawasan untuk turis. Untuk memasuki kawasan beribadah, kita harus membayar lagi, jadi saya mengurungkan niat saya. Di depan kawasan ini, terdapat patung 8 dewa yang lumayan terkenal dalam legenda Cina.
Di sisi yang terletak berdekatan dengan pintu masuk, terdapat sebuah bangunan beratap Limas dan bergaya arsitektur Joglo sehingga terlihat sangat menonjol di tengah bangunan-bangunan lain yang berarsitektur Cina. Kolom-kolomnya berbentuk segiempat ramping dan berwarna hijau dengan ukiran Jawa. Kontras dengan kolom bulat berwarna merah yang menjadi ciri arsitektur Cina.
Sebuah gapura bergaya Jawa mengapit bangunan ini (yang saya perkirakan dipakai untuk sholat).
Bangunan beratap limas
Dekat dengan bangunan Joglo ini terdapat bangunan yang dijadikan sebagai tempat turis menyewa kostum bergaya Cina sebagai kenang-kenangan yang bisa dibawa pulang. Bangunan ini menghadap sebuah taman (courtyard) yang terletak di bawah pohon rindang. Bangku-bangku bulat yang terbuat dari semen dan bergaya Cina menghiasi taman ini.
Dari Sam Po Kong saya menuju ke kawasan Simpang Lima. Tujuan saya berikutnya adalah Lawang Sewu. Nantikan kisahnya di part 2.
Comments
Post a Comment