Pengalaman mengikuti Kelas Cerpen Kompas 2018
(Kalau mau langsung membaca kegiatan Hari pertama dan kedua, skip
langsung scroll ke bawah yang ada tulisan biru "Hari Pertama" ).
Bermula dari iklan Kompas yang
saya baca di pesawat, saya akhirnya bisa mengikuti juga kelas menulis. Sejak
Februari 2018, saya sudah ingin mengikuti kelas menulis, tapi karena jadwalnya
selalu bentrok dengan jadwal kerja, akhirnya diundur terus. Kelas menulis yang
awalnya ingin saya ikuti jauh lebih mahal dan bukan dari Kompas. Cuma ada satu ‘masalah’…syarat
mengikuti kelas ini adalah harus mengirim hasil karya cerpen sejumlah maksimum
8,000 karakter.
Nah, hasil karya tulis saya
selama ini tidak pernah masuk media manapun, kecuali majalah sekolah sewaktu
SMP. Itupun hanya 1x. Saya bukan penulis yang aktif. Pengalaman saya ga lebih
dari menulis buku harian, blog dan beberapa artikel di facebook saya. Tapi yah sudah, nekat saja. Menjelang deadline
pengumpulan tanggal 21 Juni 2018, masih belum ada ide juga. Akhirnya saya pakai
tools “idea generator” (yang ternyata
kemudian di kelas menulis-pun diajarkan untuk mengail ide, sah-sah saja kita
memakai alat bantu). Idea generator ini menghasilkan cerpen yang aneh karena ga
nyambung antara adjective dan noun-nya. Tapi lumayan membantu untuk
paragraf pertama.
Jadilah, tanggal 20 Jun 2018, jam
11 malam, saya mulai mengetik. The power
of kepepet, begitu kata orang. Begitu sudah melewati paragraf pertama, jari
jemari lancar menulis hingga akhirnya cerpen kelar juga sekitar jam 1 pagi dini
hari (tanggal 21 Jun). Serasa kuliah lagi deh. Setelah mengedit jumlah karakter
dan sedikit merapikan, menaruh judul, akhirnya saya kirim cerpen saya pagi hari
tanggal 21 Jun.
Katanya sih tanggal 22 Jun akan
diumumkan lewat email. Ditunggu-tunggu, inbox
kok tetap kosong. Hm, mungkin telat kali ye… Jadi nunggu lagi. Saya juga sempat
minta dukungan doa teman-teman dekat. Lalu tanggal 23 Jun malam, loh kok belum
ada email juga. Penasaran dong. Akhirnya ngecek balik ke laman website
institute kompas. Puji Tuhan, nama saya masuk ke dalam kelas Korrie Layun.
Seneng banget dong, wong ga pernah ngirim ke media, bisa nembus seleksi Kelas
Cerpen Kompas itu dah sesuatu banget buat saya. Langsung deh saya update teman-teman dan keluarga saya.
Respon kakak saya malah “Loh,
emang lu suka nulis?”. Hahahaha…..yah iya, karena saya emang selama ini cuma
nulis blog ama buku harian, mana ada yang tau kalo saya pernah nulis cerpen.
Kembali ke soal menulis, saya
mikir-mikir sejak kapan yah saya suka menulis. Dan apa yang menyebabkan saya
suka menulis. Tadinya saya pikir, ini mungkin karena kegilaan membaca sewaktu
sekolah dulu. Saat anak-anak lain membaca majalah anak-anak, saya sudah
ikut-ikutan membaca novel atau majalah remaja milik kakak saya. Tapi setelah
dipikir ulang, sebenarnya Papa saya yang sangat berperan penting. Semasa saya
kecil, Papa biasa mendongeng tiap malam, tanpa buku loh. Dongeng cuma dari
pikiran saja. Bagi saya itu luar biasa banget. Dengan dongeng-dongeng itulah
saya bertumbuh menjadi anak yang kaya imajinasi. Jadi, kalau saya sekarang bisa
menulis (atau ada sedikit bakat), itu ngga jauh karena Papa juga.
Balik ke kelas Cerpen, akhirnya
email dari Kompas masuk. Setelah melunaskan pembayaran, kami dikirimkan jadwal
untuk hari ke-satu dan hari ke-dua.
So, here we go...
Hari
pertama, 28 Jun 2018
Bagian pertama dari hari pertama
adalah Author Speed Date. Jadi
peserta akan mendapatkan sesi mentoring privat dengan penulis ternama selama
masing-masing 15 menit. Giliran saya seharusnya jam 10.30 WIB, tapi berhubung
saya telat sedikit, jadi saya agak diundur. Tapi akhirnya masuk juga.
Di kelas Korrie Layun, kami
dimentor oleh Pak Ahmad Tohari (link: Ahmad Tohari), Pak
Triyanto (link: Triyanto
Triwikromo) dan jurnalis Sarie Febriane. Yang paling berkesan dari semua
mentor, bagi saya, adalah Pak Ahmad Tohari. Karena beliau menggugah kami,
sebagai cerpenis (mungkin belum layak disebut sebagai sastrawan atau
sastrawati), untuk memberikan sumbangsih bagi Indonesia.
Saya sempat melihat, di depan kelas,
ditempel kertas berisi nama peserta dan judul cerpen. Tapi anehnya, hanya judul
cerpen saya yang di-bold. Bikin
kepikiran aja deh. Ini maksudnya apa? Hehehehe….
Dari Pak Triyanto, saya ditanya
dulu, ide cerpen ini dapat dari mana dan apa yang mau saya sampaikan. Trus dia
juga sarankan sebaiknya dari awal saya langsung sudah jeder untuk kasih
paragraf yang bikin orang penasaran dan penasaran mau terus membaca. Cerpen
saya itu justru kurang mengena kepada apa yang mau disampaikan. Berlanjut ke
Pak Ahmad, beliau ngomong seperti ini.
“Indonesia
itu miskin sastra. Apakah kamu tidak merasa begitu?
Kamu sudah kerja kan? Jadi sudah ada
penghasilan dan tidak usah
mengandalkan sastra sebagai penghasilan?
Kalau begitu kamu harus menyumbang
kepada dunia sastra Indonesia. Kamu bisa
post di social media, atau kalau perlu,
cetak 10 cerpen terbaikmu dalam bentuk
100 buku, lalu bagikan gratis ke
perpustakaan-perpustakaan dan
teman-teman terdekat.”
Ahmad Tohari
Tertegun deh. Gimana ngga, selama
ini saya ga pernah mikir sejauh itu. Saya sendiri ga pernah menganggap diri
saya cultured (berbudaya). Bacaan
saya dulu hanya komik atau novel roman, bukan karya sastra serius. Dan beberapa
tahun terakhir ini, saya lebih senang baca buku non-fiksi yang berkaitan dengan
dunia bisnis atau entrepreneurhsip.
Pak Ahmad Tohari bilang cerpen
saya sudah “On track, tinggal nyalakan saja lokomotifnya”. Ternyata dia juga
seorang pelukis. Jadi kami sempat ngobrol dikit soal lukisan. Dan sewaktu tau bahwa
saya arsitek, dia bilang harusnya mudah untuk arsitek untuk menulis, karena
bedanya ini adalah menyusun kata, kalau arsitek menyusun bentuk. Setelah itu,
pas ngobrol dengan teman yang lain, ternyata dia juga mendapat nasihat yang
sama. Hahahaha…jujur sempat kepikir apa jangan-jangan nasihatnya sama semua.
Lain lagi dengan Mba Sari. Dari semua
mentor, dia yang ingat semua tokoh dalam cerpen saya. Dia bilang untuk golongan
cerpen, isi-isi paragraf saya kurang padat, karena untuk cerpen penulis tidak
ada ruang untuk bertele-tele seperti novel. Seorang novelis belum tentu bisa
menjadi cerpenis. Dia juga bilang cerpen bukan hanya sekedar ngagetin di
belakang saja. Dia nanya, ini nulisnya buru-buru ya? Iya, jawab saya jujur.
Selesai sesi Author
Speed Date, saya masih ada waktu 4 jam sampai kelas sore. Jadi saya
memutuskan untuk tidur dulu (bayar kos harian di tempat kos terdekat).
Berhubung saya juga ngantuk banget setelah minum obat batuk. Sorenya, saya
kembali untuk mengikuti sesi “Cerpenis berbagi” dan acara “Penganugerahan
Cerpen Kompas Terbaik 2017” yang diikuti dengan drama teater persembahan Teater
Mandiri yang dipimpin Putu Wijaya.
Sesi "Cerpenis Berbagi". Ki-ka: Panelis, Farizal Sikumbang,
Sori Siregar, Rika dan Faisal Oddang
Sori Siregar, Rika dan Faisal Oddang
Pak Ahmad Tohari berbagi
"Orgasmus harus dicapai saat cerpen selesai diciptakan,
bukan saat karya dimuat di salah satu media"
Di sesi “Cerpenis berbagi” para
peserta mendapatkan kesempatan bertanya jawab dengan 4 cerpenis dan mendapat
tips untuk mengail ide, semangat untuk terus menulis, juga perlunya riset untuk
menulis cerpen. Setelah makan malam, kami masuk ke dalam ruangan untuk
mengikuti acara penganugerahan karya Cerpen Pilihan Kompas 2017 beserta
peluncuran bukunya, yang dimenangkan oleh cerpen “Kasur Tanah” karya Ibu Muna. Acara
selanjutnya adalah pertunjukan drama dari Teater Mandiri yang disutradarai oleh
Pak Putu Wijaya, masih dengan judul “Kasur Tanah”. Uniknya, drama ini
dilaksanakan tanpa kesempatan berdiskusi dengan penulis, karena ada unsur
kejutan bahwa cerpen ini adalah yang menang. Jadi mereka berusaha
menginterpretasi sebaik mungkin.
Penganugerahan Cerpen Terbaik
Kompas 2017
Teater “Kasur
Tanah” dimainkan oleh Teater Mandiri arahan Putu Wijaya.
Agus Noor
Hari
kedua, 29 Jun 2018
Sesi hari kedua dimulai jam 9 pagi untuk pendaftaran ulang (sesinya sendiri baru mulai jam 10 kurang). Saya sendiri sambil mengikuti conference call penting untuk kerjaan, sambil dengerin Pak Ahmad ngajar. Sempet ngga konsen. Untungnya conference call-nya segera berakhir dan saya bisa fokus ke kelas.
Pak Ahmad sempat bertanya,
mungkinkah kita mengubah mindset para
koruptor lewat sastra? Saya rasa, mungkin saja. Bukankah karena itu juga para
sastrawan yang kontroversial dan berani menulis topik-topik politik yang
sensitif cenderung dicekal?
Ada seorang murid bertanya “Seberapa
bebaskah para penulis untuk menulis? Saya ingin menulis tentang agama, tapi
saya takut dikritik.”
Menjawab ini, Pak Ahmad Tohari
menjelaskan bahwa di luar negeri, tidak ada asas Pancasila. Ada pelukis yang
justru menang kasus di pengadilan meskipun dia menggambar lukisan yang
kontroversial dan mencemooh agama. Tapi Indonesia berazaskan Pancasila, jadi
kita berbeda. Sementara Pak Triyanto memiliki jawaban yang sedikit berbeda.
Menurut beliau, untuk menulis, bebaskanlah pikiranmu sebebas-bebasnya, lalu
nanti baru diedit dan dipikirkan.
Pak Triyanto sebagai dosen sastra
mengajarkan beberapa teknik dan tips. Pak Ahmad Tohari dan Mba Sari juga sempet
berbagi sedikit. Lalu setelah ishoma, kami mendapat tugas praktek langsung
untuk men-dekonstruksi cerpen “Di depan hukum” karya Kafka. Sesi praktek
berlangsung selama 1 jam. Lalu, Pak Triyanto memilih 5 siswa untuk membacakan
karyanya. Saya termasuk salah satu yang terpilih.
Untuk membaca hasil karya
dekonstruksi cerpen saya, silahkan klik di sini:
https://gietravelingstory.blogspot.com/2018/06/desau-seruling-bambu.html
https://gietravelingstory.blogspot.com/2018/06/desau-seruling-bambu.html
Setelah itu, kami mendapatkan
kesan dan pesan dari para mentor, dan sempat berfoto bersama. Lalu ada sesi tanya
jawab dengan para penulis ternama seperti Pak Agus Noor, Pak Martin Aleida,
etc. Setelah itu dilanjutkan dengan presentasi dari “Kompas.id” tentang website
“Kompas.id” dan apa bedanya dengan “Kompas.com”. Peserta KMCK (Kelas Menulis
Cerpen Kompas) 2018 juga mendapatkan free
3 bulan berlangganan kompas.id.
Setelah sesi itu berakhir, kami
semua turun ke bawah untuk berfoto bersama, mengambil ijazah dan pulang ke
tempat masing-masing.
Yang pasti, kami pulang dengan
semangat yang baru. Semangat untuk menulis dan menyumbangkan karya-karya sastra
ke dunia Sastra Indonesia.
Pak Triyanto mengajar di kelas
Wefie dulu dengan teman sekelas Korrie Layun
Kelas Korrie Layun dengan mentor Pak Ahmad Tohari (sudah pulang),
Pak Triyanto dan Mba Sari
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete